Sabtu, 17 Desember 2011

Perjalanan Cinta Yang Sia-sia

Ketika cinta hadir, tak pernah ada yang tahu kapan
ketika cinta hadir, tak pernah ada yang tahu dimana
ketika cinta hadir, tak pernah ada yang tahu pada siapa
ketika cinta hadir, tak ada yang dapat mengelak darinya
maka ketika cinta itu terpasung
pada sesosok cinta yang berpenghuni
adakah yang salah dengan itu?

Goresan penaku kali ini masih tak sepanjang celotehan hatiku yang tak pernah mau diam. Sejak cinta ini singgah dihatiku, anganku senantiasa melanglang buana, menembus bayang dan menerobos impian. Tapi ungkapan hatiku yang tertulis dalam palung jiwa yang tertulis dengan tinta air mata tak akan pernah membuatku mengerti. Seperti saat aku yang tak bisa mengerti, mengapa hanya dirimu yang tetap bertahta disinggasana hatiku. Semakin engkau bergeming ditempatmu, semakin aku terobsesi untuk memilikimu.
Ketika rasa itu menuntun sebuah alasan
apakah itu satu keharusan?
apakah kemurniannya tak ternoda?
ketika rasa itu harus dipertanyakan kehadirannya
mestikah keraguan yang muncul saat tanya itu tak terjawab
?
“Apa yang membuatmu mencintaiku?”, tanyamu saat kata cinta itu terucap dalam hening. Terdiam aku. Tak tahu harus memulai dari mana. Satu hal yang kuingat adalah sejak aku melihatmu. Bahkan jauh sebelum aku mengenalmu, kau sudah membuatku terpesona. Dan setelah aku mengenalmu lebih jauh, kau semakin membiusku. Bisikkan hati ini semakin jelas. Sejelas noktah cinta yang tercipta tanpa sengaja, kau belahan jiwaku! Dan akupun menjawab dengan yakin, “semua yang ada padamu, membuatku jatuh cinta.” Lalu katamu, “aku sudah ada yang punya!” 

Ya, aku tahu sayang. Tanpa perlu kau jelaskan, aku sudah tahu kalau kau sudah ada yang memiliki. Tapi cinta ini, semakin aku diamkan, amukkannya semakin membabi buta. Batu karang ditengah lautan sanggup menerima setiap hempasan ombak sedahsyat apapun. Tapi hatiku bukan batu karang, hatiku hanya seonggok daging merah yang senantiasa berdenyut. Yang tak kuasa menahan setiap terjangan badai ombak sang pencinta.
“Kamu gila!” katamu waktu itu. Aku akan marah kalau dokter jiwa atau orang lain yang mengatakan itu padaku. Tapi saat kalimat itu terucap dari bibirmu, aku hanya bisa tersenyum. Ya, aku memang gila. Gila karena tak pernah menganggapmu biasa. Gila karena selalu menempatkanmu sebagai satu-satunya tokoh utama dalam dunia khayalku, sebagai lamunan terindahku. Karena hanya dalam lamunan aku bisa memilikimu, bisa membelai mesra rambut panjangmu, mengusap lembut kulitmu, memeluk hangat tubuhmu, dan mencium aroma wangimu.

Andai cinta boleh menentukan ruang
andai cinta boleh memilih hati
andai cinta boleh memihak dimensiku
mungkin segalanya akan berbeda

.
Dalam diam, dalam angan, dalam lamunan … pernah terpikir dan membayangkan, andai aku punya satu ilmu yang dengan kekuatannya bisa merebut dirimu darinya. Maka akan aku lakukan itu, akan kujaga dirimu, dan akan kujadikan dirimu seorang bidadari dalam taman kehidupanku di dunia fana ini hingga kelak di alam keabadian. Tahukah dirimu bahwa … aku selalu memulai hari dengan sebuah kerinduan dan mengakhirinya dengan khayalan paling tinggi. Semua tentang dirimu! Dan aku tak pernah jera untuk selalu mencintaimu, tak pernah bosan untuk senantiasa merindukanmu.
Dirimu,
yang berdansa diujung kegelisahanku
yang menari di tepi keresahanku
yang menyanyi disisi kemeranaanku
yang tertawa pada alam kesepianku
yang berteriak dalam kebisuanku
yang bersenandung dalam kehampaanku.

Dan jika akhirnya aku memutuskan untuk melepaskan impian ini … bukan karena aku lelah, bukan karena aku menyerah pada keadaan. Aku hanya mulai menyadari kalau anganku akan tetap menjadi sebuah angan, sebuah lamunan yang tak pernah berujung. Aku mulai mengerti kalau dirimu tetap tak bisa memberi busana pada cintaku. Aku hanya bisa mencintaimu dengan kebahagianku, sedangkan dirimu tak pernah bisa bahagia atas cintaku. Meski cintaku selembut awan putih, tapi angin hanya menghembuskan mendungnya pada kehidupanmu.

Saat kulepas mimpi ini, ada seuntai kata untukmu … “berbahagialah engkau bersama pendampingmu!” Aku tak akan pernah mengusikmu lagi, meski hanya lewat lamunan sekalipun. Dan akan kusimpan cinta ini dalam bentuk yang berbeda karena telah kubakar cinta ini dengan api keputusasaan, yang puingnya telah berubah menjadi abu. Akan kutuang abu cinta itu dalam cawan kepasrahan dan kusimpan didasar jurang sanubariku, agar tak ada siapapun yang tahu – kecuali aku, dirimu dan Tuhan tentunya – dan semoga kenakalannya tak akan pernah mengusikmu lagi. Tidak hari ini, tidak esok, tidak juga nanti. Biarkan cintaku yang tetap selembut awan itu terpancang dalam tiang keabadian. Maaf atas segala hal yang telah terjadi, yang telah menyita waktu dan pikiranmu atas cintaku yang tak tepat!